Tak mudah menjawab definisi sebuah cerpen yang baik. Karena cerpen yang baik berbeda-beda kualitasnya. Cerpen-cerpen Hemingway yang baik, berbeda mutunya dengan cerpen-cerpen O Henry yang baik.
Walaupun demikian, secara garis besar dapatlah kita mengatakan bahwa cerpen yang baik adalah cerpen yang utuh, integral, merupakan satu bentuk kesatuan yang manunggal. Tak ada bagian-bagiannya yang tak perlu, sebagaimana juga tak ada bagian yang diumbar lebih dari keperluan. Seluruh isinya pas, tajam, dan mengandung arti. Sedangkan ketajamannya bisa terdapat pada berbagai unsurnya, seperti pada plot, suasana cerita, setting tempat atau waklu terjadinya cerita.
Selain itu seorang cerpenis yang baik juga mampu memberi sesuatu bagi pembacanya : pengetahuan, pengalaman, kegembiraan, pandangan, dll dalam cerpen-cerpennya.
Lima Hukum Cerpen
Edgar Allan Poe, sastrawan Amerika yang dianggap sebagai bapak cerpen modern mewariskan lima Hukum Menulis Cerpen yang sampai sekarang masih relevan:
Tidak menguras waktu pembacanya, bisa selesai dibaca dalam waktu singkat tapi tetap memberikan kesan yang mendalam. Cerpen bagaikan kain ketat, tak banyak memberi kelonggaran. Pengarang cerpen ulung selalu menghindari uraian berkepanjangan tentang tokoh cerita atau pemandangan alam.
Sebuah cerita pendek mengenal disiplin waktu, irama, mengenal warna, dibatasi oleh patokan sehingga memerlukan kelicikan, tetapi juga sekaligus ketegelan dan kebijaksanaan dari penciptanya.
Itu prinsip menulis cerpen rumusan Edgar Allan Poe. Namun pada kenyataannya banyak juga cerpenis terkenal yang melanggarnya.
Ernest Hemmingway-peraih Nobel sastra atas novel The Old Man and The Sea gemar membuat cerpen yang panjang-panjang dan memaparkan secara detil sekali karakter atau pemandangan alam pada cerpen-cerpennya. Bahkan Edgar Allan Poe sendiri yang sering membuat ujung cerita yang tidak rampung, melambai-lambai ditiup angin alias misterius. Barangkali karena judulnya “misteri” maka pembaca justru senang berteka-teki dengan ujung cerpen yang tidak jelas atau tidak rampung tersebut.
Sehingga boleh – boleh saja kita menambah kurangkan prinsip prinsip tersebut sepanjang masih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya.
Walaupun demikian, secara garis besar dapatlah kita mengatakan bahwa cerpen yang baik adalah cerpen yang utuh, integral, merupakan satu bentuk kesatuan yang manunggal. Tak ada bagian-bagiannya yang tak perlu, sebagaimana juga tak ada bagian yang diumbar lebih dari keperluan. Seluruh isinya pas, tajam, dan mengandung arti. Sedangkan ketajamannya bisa terdapat pada berbagai unsurnya, seperti pada plot, suasana cerita, setting tempat atau waklu terjadinya cerita.
Selain itu seorang cerpenis yang baik juga mampu memberi sesuatu bagi pembacanya : pengetahuan, pengalaman, kegembiraan, pandangan, dll dalam cerpen-cerpennya.
Lima Hukum Cerpen
Edgar Allan Poe, sastrawan Amerika yang dianggap sebagai bapak cerpen modern mewariskan lima Hukum Menulis Cerpen yang sampai sekarang masih relevan:
- 1. Peraturan Pertama
Tidak menguras waktu pembacanya, bisa selesai dibaca dalam waktu singkat tapi tetap memberikan kesan yang mendalam. Cerpen bagaikan kain ketat, tak banyak memberi kelonggaran. Pengarang cerpen ulung selalu menghindari uraian berkepanjangan tentang tokoh cerita atau pemandangan alam.
- 2. Peraturan Kedua
- 3. Peraturan Ketiga
Sebuah cerita pendek mengenal disiplin waktu, irama, mengenal warna, dibatasi oleh patokan sehingga memerlukan kelicikan, tetapi juga sekaligus ketegelan dan kebijaksanaan dari penciptanya.
- 4. Peraturan Keempat
- 5. Peraturan Kelima
Itu prinsip menulis cerpen rumusan Edgar Allan Poe. Namun pada kenyataannya banyak juga cerpenis terkenal yang melanggarnya.
Ernest Hemmingway-peraih Nobel sastra atas novel The Old Man and The Sea gemar membuat cerpen yang panjang-panjang dan memaparkan secara detil sekali karakter atau pemandangan alam pada cerpen-cerpennya. Bahkan Edgar Allan Poe sendiri yang sering membuat ujung cerita yang tidak rampung, melambai-lambai ditiup angin alias misterius. Barangkali karena judulnya “misteri” maka pembaca justru senang berteka-teki dengan ujung cerpen yang tidak jelas atau tidak rampung tersebut.
Sehingga boleh – boleh saja kita menambah kurangkan prinsip prinsip tersebut sepanjang masih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya.